Mencicipi Keindahan Tanjung Kelayang
Teks: Adi Ahdiat
Foto: Adji ‘Kaka Ikan’ Sudarmo, Irbramsyah Saidin
25 April 2018. Pagi itu awan mendung dan gerimis menyelimuti Kabupaten Belitung. Laut pun terlihat abu-abu memantulkan warna langit yang muram. Rasanya, hari ini benar-benar bukan hari yang ideal untuk diving.
Tapi apa boleh buat. Perahu sudah dipesan, tabung udara sudah diisi, housing kamera sudah terpasang, dan kami sudah tidak sabar ingin nyebur ke laut. Maka, jadilah sudah. Di tengah cuaca yang kurang mendukung itu kami berangkat ke Tanjung Kelayang untuk memulai penyelaman.
Tanjung Kelayang adalah sebuah pantai yang terletak di sisi utara Pulau Belitung. Keindahannya sudah cukup dikenal luas sejak tahun 2008, tepatnya sejak dijadikan lokasi syuting untuk film Laskar Pelangi. Tanjung Kelayang juga pernah menjadi tempat berlabuh bagi sekitar 100 kapal Yacht dari mancanegara dalam acara Sail Wakatobi-Belitong 2011.
Mulai tahun 2016 pemerintah kemudian menetapkan kawasan ini sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata dan ramai mempromosikan Tanjung Kelayang sebagai salah satu “Bali Baru”.

Suasana Tanjung Kelayang sehari sebelum kami mulai menyelam. Saat cuaca cerah lautnya terlihat sangat cantik memancarkan warna biru muda kehijauan.
(Foto: Kaka Ikan)
Karang Bugis dan Kapal Karam
Dari Tanjung Kelayang kami berangkat dengan perahu nelayan kecil. Pak Salam, diver lokal yang memandu kami, mengarahkan perahu ke spot penyelaman yang disebut Karang Bugis. Selain memiliki atraksi berupa bukit terumbu karang, di sana juga terdapat situs kapal karam Indomarine yang sudah tenggelam sejak kira-kira 25 tahun lalu.
Lokasi Karang Bugis tidak jauh dari Tanjung Kelayang, hanya sekitar 10 menit perjalanan perahu. Selama perjalanan yang singkat itu Pak Salam bercerita tentang karakter titik selam di kawasan ini sambil memberikan dive briefing untuk kami.
“Di daerah Tanjung Kelayang dan Pulau Lengkuas ini ada sekitar 10 titik selam. Rata-rata nggak terlalu dalam, cuma sekitar 16 – 20 meter. Nanti di wreck ini juga kedalamannya kira-kira segitu,” kata Pak Salam.
Sambil mendengarkan arahannya, saya terus memandangi permukaan laut yang begitu bergelombang dan tidak memancarkan warna apapun selain abu-abu. “Di tengah cuaca begini, apa yang bisa saya lihat di bawah sana?” tanya saya dalam hati. Tapi bertanya dalam hati sungguh tak ada gunanya. Tak lama kemudian, saya pun melakukan back roll entry dan menenggelamkan diri ke laut yang gelap itu.
Begitu melakukan descending saya merasakan air yang hangat dan berarus tenang. Langit yang mendung membuat suasana di bawah air jadi terbawa gelap dan muram. Rasanya saya seperti masuk ke dalam hutan yang rimbun dan berkabut. Visibility saat itu hanya sekitar 4 – 5 meter saja.
Tak lama setelah masuk ke air, puncak Karang Bugis mulai terlihat. Kami terus turun menyusuri bukit karang yang memiliki bentukan slope hingga kedalaman sekitar 17 meter.
Sesampainya di bawah, kami terus berenang mengikuti pergerakan Pak Salam dan beberapa menit kemudian tibalah kami di Indomarine wreck.
Bangkai kapal itu terduduk tenang di kedalaman 20 meter, dengan panjang sekitar 40 meter dan tinggi sekitar 6 meter.
Setelah terendam di laut selama nyaris seperempat abad, sekarang bangkai Indomarine telah menjelma menjadi taman koral yang subur sekaligus rumah bagi berbagai jenis ikan seperti angelfish, damselfish, yellow stripped fish, dan beberapa jenis ikan terumbu lainnya. Saya juga melihat seekor puffer fish yang ukurannya kira-kira sebesar anak kambing. Saat mau difoto, ia kabur dan bersembunyi ke dalam ruang-ruang kapal.

Bagian buritan Indomarine wreck. Baling-balingnya sudah hilang entah ke mana.
(Foto: Kaka Ikan)

Soft coral dari jenis Dendronephthya berwarna merah dan oranye terlihat cukup dominan tumbuh di berbagai bagian kapal. Di balik pintu ini juga ada seekor puffer fish besar yang sedang bersembunyi.
(Foto: Kaka Ikan)
Berbeda dengan bangkai Sophie Rickmers di Pulau Weh ataupun kapal-kapal peninggalan Perang Dunia di destinasi selam lain, bangkai kapal Indomarine tidak memiliki sejarah yang heroik ataupun tragis.
Indomarine hanya sebuah kapal kargo biasa yang karam karena terserang badai dan rusak di tengah perjalanan. Sekalipun begitu, Indomarine wreck tetap memiliki keindahan yang unik dan tak tergantikan. Kini ia juga mampu menjadi salah satu atraksi yang menghidupkan wisata selam di Kabupaten Belitung.
“Setiap minggu ada saja tamu diver yang datang ke sini (Tanjung Kelayang) dan minta diantar ke wreck. Biasanya rombongan mereka 4 – 5 orang, tapi sampai 10 orang juga pernah. Musim paling bagus di sini mulai April sampai Juli. Tapi Oktober sampai September bagus juga,” jelas Pak Salam.
Mengingat kedalaman dan kondisi arusnya yang tergolong aman, situs Karang Bugis dan Indomarine wreck memang sangat cocok untuk lokasi fun dive ataupun tempat latihan bagi freediver, penyelam open water dan underwater photographer pemula.
Menunggu Matahari di Pulau Lengkuas
Setelah menyelam selama kira-kira 50 menit di area Karang Bugis dan Indomarine wreck, kami mulai kehabisan udara dan langsung melakukan ascending. Begitu sampai di atas perahu, Pak Salam pun mengajak kami untuk menghabiskan waktu surface interval di Pulau Lengkuas.
Pulau Lengkuas adalah sebuah pulau kecil yang letaknya tak jauh dari Tanjung Kelayang dan merupakan salah satu destinasi wisata populer di Belitung. Pulau ini dikenal karena memiliki pantai pasir putih yang indah, batu-batu granit besar, dan sebuah mercusuar kuno dari masa kolonial Belanda.

Mercusuar kuno di Pulau Lengkuas. Menara yang memiliki 17 lantai ini telah berdiri sejak tahun 1882 dan masih bisa berfungsi hingga sekarang.
(Foto: Irbramsyah Saidin)
Di pulau itulah kami beristirahat dan menikmati es kelapa muda. Kami pun sengaja memperpanjang waktu surface interval, dengan harapan matahari akan muncul dan mengusir awan mendung yang menggantung sedari tadi pagi. Sambil menunggu cuaca berubah cerah, Pak Salam banyak bercerita tentang potensi wisata selam Belitung yang menurutnya belum tergarap maksimal.
“Di Belitung ini sebenarnya ada banyak tempat menyelam, tapi belum banyak orang tahu. Misalnya di Selat Nasik. Di sana itu ada titik selam yang dalam dan banyak ikannya. Tapi orang jarang ke sana karena jauh, sekitar 2 jam perjalanan dari Tanjung Kelayang, dan di sana belum ada penginapan. Ya, kita sih berharap nanti akan ada investor yang mau membangun dan bisa melibatkan masyarakat juga, supaya kita nggak sekedar jadi penonton,” ujarnya.
Kami terus saja bercakap-cakap dan tak terasa dua jam sudah berlalu. Sayangnya, matahari yang ditunggu-tunggu tidak juga kunjung muncul. Akhirnya kami pun memutuskan untuk melanjutkan penyelaman di bawah langit yang masih saja mendung.
Mengelilingi “Gunung Batu Granit” Tukong Kik Mai
Penyelaman kedua kami lakukan di dive spot Tukong Kik Mai yang berjarak sekitar 10 menit perjalanan perahu dari Pulau Lengkuas. Sesampainya di tujuan, perahu kami langsung parkir di salah satu sisi sebuah batu granit yang besarnya bukan main.
Jika dilihat dari permukaan, batu granit di Tukung Kimai ini nampak seperti sebuah pulau kecil. Namun setelah kami masuk ke air, barulah kami tahu bahwa pulau itu sebenarnya merupakan puncak dari sebuah “gunung batu granit” yang mencuat dari dasar laut.

Batu granit Tukong Kik Mai yang luasnya menyerupai pulau kecil. “Pulau” ini sebenarnya merupakan puncak dari “gunung batu granit” yang mencuat dari kedalaman 17 meter di bawah permukaan laut.
(Foto: Irbramsyah Saidin)

Menurut Pak Salam, biasanya spot Tukong Kik Mai ini memiliki arus yang cukup kuat sehingga cocok untuk drift diving. Tapi saat kami turun, entah kenapa arus sedang tenang-tenang saja.
Tanpa didorong oleh arus, kami pun mulai berenang mengelilingi “gunung batu granit” ini. Kami menyusuri wall besar yang terbentang hingga kedalaman 17 meter dan ditumbuhi berbagai jenis koral warna-warni.
Sayangnya, di atas sana langit masih mendung dan keadaan di bawah air masih sama gelapnya dengan tadi pagi. Visibility hanya sekitar 4 – 5 meter dan kami pun terpaksa menikmati keindahan bawah laut Tukong Kik Mai dengan penglihatan yang samar dan “berkabut”.
Setelah sekitar 50 menit menjelajah, pada akhirnya kami mengakhiri penyelaman di Tukong Kik Mai dengan sebuah harapan. Harapan supaya nanti kami bisa kembali menyelam di sini lagi dengan matahari yang terik dan langit yang cerah.
Kami yakin spot ini masih menyimpan banyak keindahan yang belum sempat terjamah ataupun terpotret dengan baik. Semoga semua keindahan itu tetap terjaga sampai kami kembali lagi ke sini.
Sampai jumpa lagi, Belitung!

Berbagai jenis koral yang tumbuh di area penyelaman Tukong Kik Mai. Selain hydroid dan sea fan, di kawasan ini kita juga bisa menemukan brain coral dan table coral berukuran besar.
(Foto: Kaka Ikan)