Laut: Tempat Sampah Raksasa

    Kasus pencemaran laut tidak hanya terjadi di Indonesia. Fenomena ini juga terjadi secara global dan sekarang laut sudah menjadi tempat sampah raksasa.

    Kabar ini memang tidak menyenangkan. Tapi begitulah kenyataan yang ada.

    Menurut riset American Association for the Advancement of Science (AAAS) rata-rata ada sekitar 8 juta ton sampah yang memasuki laut setiap tahunnya, entah itu dibawa oleh aliran sungai, dibuang di kawasan pantai, ataupun dilempar langsung dari atas perahu nelayan dan kapal pesiar.

    Sampah-sampah yang dibuang sembarangan itu kemudian akan terbawa arus gyre dan “bermuara” di berbagai wilayah samudra.

     

    Pusaran Sampah Pasifik

    Gyre adalah salah satu jenis arus atau gelombang berskala besar yang terdapat di lautan. Gelombang gyre bergerak melewati pantai-pantai menuju ke bagian tengah samudra yang berarus tenang. Gelombang inilah yang menghanyutkan sampah plastik dari kawasan pesisir ke laut lepas, kemudian memusatkannya ke beberapa titik di samudra Atlantik, Hindia, dan Pasifik.

    “Muara sampah” paling besar terdapat di kawasan samudra Pasifik. Sejumlah media internasional pernah melaporkan bahwa luas tumpukan sampah di sana sudah mencapai dua kali lipat luas Texas (negara bagian terbesar kedua di Amerika yang luasnya mendekati Pulau Kalimantan). Mereka pun kerap menyebut kawasan itu sebagai The Great Pacific Garbage Patch atau Pulau Sampah Besar Pasifik.

     

    Gambaran sampah dunia yang terakumulasi di Samudra Pasifik.
    (Image: NOAA)

     

    Namun demikian, menurut ilmuwan dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), istilah “Great Pacific Garbage Patch” yang dipopulerkan media itu sesungguhnya kurang tepat.

    Berdasarkan pengamatan NOAA, sebagian besar sampah di Pasifik tidak bertumpuk dan membentuk “pulau sampah terapung”, melainkan tersebar di wilayah pelagis dan berputar-putar dalam zona tertentu. Mereka terus bergerak karena pengaruh arus dan angin laut. Luas sebarannya pun selalu berubah dan sulit dihitung secara pasti. Karena alasan itu, NOAA lebih setuju menyebut kawasan ini sebagai Pacific Trash Vortex atau Pusaran Sampah Pasifik.

     

    Bahaya Sampah Plastik

    Terlepas dari soal istilah dan penamaannya, keberadaan sampah plastik di samudra Pasifik (serta berbagai wilayah samudra lain) adalah kenyataan yang tidak bisa diperdebatkan lagi.

    Tahun 2011, Colette Wabnitz, peneliti dari University of British Columbia, melaporkan bahwa 75 persen penyu hijau di kawasan pantai Argentina perutnya sudah berisi kantung plastik. Tahun 2016 seekor paus sperma juga ditemukan mati terdampar di pantai Davao del Norte, Filipina, dengan sistem pencernaan yang rusak karena gumpalan plastik, pecahan ember, serta jaring ikan sepanjang 15 meter.

    Dan bukan cuma ikan, belakangan sampah laut juga diketahui menjadi ancaman serius bagi pencernaan manusia.

    Selama berada di laut, sampah plastik terurai oleh sinar matahari hingga berubah menjadi serpihan-serpihan yang disebut mikroplastik. Plastik berukuran super kecil itu lalu dimakan ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan besar, dan ikan besar dimakan manusia. Dengan demikian, mikroplastik yang tadinya mengambang di laut lepas pun bisa berpindah ke tubuh manusia, terakumulasi menjadi racun dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan dalam jangka panjang.

    Ancaman mikroplastik ini salah satunya terlihat dari penelitian para marine biologist dari Universitas Hasanuddin dan University of California Davis. Tahun 2015 mereka mengadakan penelitian di pasar ikan terbesar di Makassar. Di sana mereka menemukan bahwa kerang, ikan teri, serta ikan tongkol yang dijual sudah banyak tercemar. Dari 10 ekor ikan teri, 4 ekor di antaranya positif mengandung mikroplastik.

    Jumlah ikan yang tercemar plastik itu juga diperkirakan akan terus meningkat, seiring dengan produksi sampah yang terus bertambah tiap tahunnya.

     

    Apa Yang Bisa Kita Lakukan?

    Menurut perhitungan Dianna Parker, Communication Specialist dari NOAA Marine Debris Program, membersihkan laut dari sampah plastik, terutama mikroplastik, adalah pekerjaan yang luar biasa sulit. Selain karena ukuran mikroplastik yang sangat kecil, sulit dilihat, dan sulit diambil dengan jaring biasa, kawasan yang harus dibersihkan juga sangat luas.

    Untuk membersihkan 1 persen lautan saja, kita membutuhkan 67 buah kapal penjaring sampah yang beroperasi selama satu tahun penuh. Di samping menguras waktu dan tenaga, upaya ini juga pasti akan menghabiskan uang dan bahan bakar yang sangat banyak.

    Kalau begitu, apa yang bisa kita lakukan sekarang?

    Masalah sebesar ini tentu tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara sederhana. Tapi Dianna Parker menganjurkan: mulailah perubahan dari diri sendiri.

    Kita memang tidak mampu membersihkan seluruh lautan dunia. Mungkin kita juga tidak akan pernah bisa menghentikan aliran sampah darat yang masuk ke samudra. Tapi setidaknya, kita bisa memperbaiki gaya hidup dengan mengurangi produksi sampah pribadi.

    Hindari mengkonsumsi produk-produk sekali pakai. Perbanyak penggunaan barang daur ulang. Lewat aksi-aksi kecil semacam ini, kita bisa terus berusaha meluaskan kepedulian akan lingkungan laut, dan berharap ada semakin banyak orang yang mau ikut peduli.

     

     

    (Foto: www.commons.wikimedia.org)

    <span class="icon-user"></span>

    Adi Ahdiat

    Facebook comments

    Website comments