Nia Naelul: Menggali Sejarah Kapal Karam
Tim Peneliti Arkeologi Maritim KKP RI sedang melakukan riset di situs kapal karam.
(Foto: Dok. KKP RI)
Bangkai kapal karam menyimpan segudang cerita yang kaya nilai sejarah. Benda semacam itulah yang ditelusuri, digali, dan dipelajari oleh para peneliti seperti Nia Naelul Hasanah Ridwan.
Perempuan kelahiran Tasikmalaya ini adalah salah satu Peneliti Arkeologi Maritim yang pertama dikukuhkan secara resmi di Indonesia. Tahun 2015 lalu ia pernah menerima penghargaan Satya Lancana Wira Karya dari Presiden RI untuk Investigasi Kasus Pengangkatan Ilegal BMKT di Mentawai dalam rangka Pelindungan Situs Kapal Tenggelam. Saat ini ia menjabat sebagai Head of Research Institute for Coastal Resources and Vulnerability, Maritime Archaeology Research Scientist di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI.
Sejak kapan Anda menekuni arkeologi maritim?
Sewaktu kuliah saya mengambil jurusan arkeologi di UGM. Tapi saya baru mendalami arkeologi maritim sejak masuk ke KKP tahun 2005. Saat itu saya masuk di bagian Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Non Hayati sebagai peneliti. Karena objek yang saya teliti adalah situs kapal tenggelam, di sini kemampuan diving jadi salah satu keharusan. Akhirnya mulai tahun 2007 saya mulai belajar diving.
Pelatihan selam apa saja yang pernah diikuti?
Sertifikat selam terakhir saya adalah Two Stars dari POSSI-CMAS. Saya belum sempat ikut pelatihan lanjutan dan naik jenjang lagi, tapi sampai sekarang masih aktif menyelam untuk keperluan penelitian.
Di samping itu saya mengikuti specialty course seperti Underwater Photography for Sunken Ship, Wreck Diving Search and Recovery, dan beberapa pelatihan dari UNESCO tentang Underwater Cultural Heritage.
Shipwreck apa saja yang pernah Anda teliti?
Setiap tahunnya kantor kami selalu melaksanakan riset ke situs di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari situs MV. Boeloengan di Sumatera Barat, Taka Kappala di Sulawesi Selatan, Japanese Heavy Cruiser Ashigara di Selat Bangka, Kapal Inggris di Natuna, SS Aquila/SS Duke of Sparta di Teluk Ambon, HMAS Perth di Teluk Banten, dan banyak lainnya.
Situs mana yang paling berkesan?
Situs kapal perang HMAS Perth di Banten mungkin yang paling tricky buat saya. Di saat-saat tertentu kondisi arusnya kuat dan visibility buruk sehingga cukup menyulitkan. Selain itu, sepanjang saya diving sebenarnya saya tidak pernah mengalami hal-hal yang berbau mistis. Tapi waktu menyelam di HMAS Perth, saya merasakan “hawa dingin” yang membuat saya agak merinding.
Mungkin itu perasaan saya saja. Mungkin juga karena saya tahu bahwa ada 353 orang yang tenggelam bersama kapal ini dalam peristiwa “The Battle of Sunda Strait”. Hal itu juga yang membuat saya sangat excited selama melakukan riset di sana.
Dari sekian banyak situs shipwreck yang Anda selami, situs mana yang potensial dikembangkan menjadi destinasi selam?
Sampai sekarang, tempat wreck diving Indonesia paling populer memang USAT Liberty di Tulamben. Tapi berdasarkan kajian kami, USAT Liberty sudah menanggung tekanan besar karena terlalu banyak penyelam yang datang, bisa mencapai 200 – 400 orang per hari. Saya khawatir kunjungan massal akan mempercepat kehancuran bangkai kapal tersebut.
Karena itu situs-situs kapal tenggelam lain perlu dipromosikan agar penyelam tidak terkonsentrasi di Tulamben saja. Japanese Wreck di Gorontalo misalnya, bisa dikembangkan karena aksesnya yang sangat mudah. Situs MV. Boelongan, Sophie Rickmers, HMAS Perth juga cocok untuk advance divers atau deep divers yang ingin menyelami bangkai kapal bersejarah.
Simak lebih jauh berbagai kisah penyelaman dan foto-foto spektakuler wreck diving di Scuba Diver AustralAsia Indonesia Edisi 3/2017 (e-magazine).