Interview with A Pro – Burt Jones

    Mulai dari memetakan gua-gua hingga menulis sejumlah buku sejarah ilmu pengetahuan alam klasik, Burt Jones, bersama sang istri, Maurine Shimlock, telah menjadi pelopor pencitraan bawah laut selama kira-kira empat dekade. Burt Jones merupakan salah seorang dari pahlawan-pahlawan tak dikenal di bidang fotografi bawah laut.

    **

    Sejak tahun 1970-an, Burt telah mendedikasikan diri untuk menjelajahi situs-situs menyelam di seluruh penjuru dunia maupun menjelajahi jiwa seni dalam dirinya sendiri. Menyelam di Semenanjung Yucatan Meksiko jauh sebelum tempat tersebut terkenal sebagai destinasi selam, Burt dan istrinya berperan penting dalam menempatkan kemolekan bawah air Indonesia di atas peta dunia penyelaman dengan buku-buku karya mereka, Secret Sea, Diving Indonesia’s Raja Ampat, dan Diving Indonesia’s Bird’s Head Seascape.

    Bagi Anda yang masih asing dengan kiprah Burt dan Maurine yang panjang dan mengagumkan di bidang ini, Anda dapat mempelajarinya dengan membaca buku-buku mereka.

    Cancún, Meksiko pada masanya

    Saya tumbuh besar di sebuah kota kecil di Utara Austin, Texas, dan pertama kali mengambil sertifikasi selam pada tahun 1969. Namun, barulah di awal 1970-an, saat libur semester semasa kuliah di Meksiko Tengah, saya mulai menjelajahi pesisir Yucatán. Ketika itu, saya sedang tergila-gila dengan aktivitas menangkap ikan menggunakan tombak dan segala tentang reruntuhan suku Maya. Setelah lulus kuliah, saya dan seorang kawan memutuskan membuka toko selam di pesisir pantai di sebuah kota kecil bernama Puerto Morelos. Kala itu, Cancún masih berupa angan-angan; dunia penyelaman di Cozumel baru saja dirintis; Playa del Carmen masih menjadi kampung halaman bagi keluarga-keluarga nelayan; dan masih puluhan tahun sebelum kumpulan ikan-ikan kecil dan hiu paus di lepas pantai Isla Mujeres ditemukan.

    Nyaris sendirian menghuni pesisir pantai di bagian sana, saya dan Maurine menjalani kehidupan yang damai, bebas stres namun penuh petualangan. Pada awal 1980-an, wilayah pesisir pantai perlahan mulai berkembang dan kami lalu mendirikan sebuah penginapan bed and breakfast serta membuka toko selam kami yang kedua. Saat pembangunan Cancún mulai merambah ke seluruh pesisir, kami berhenti menangkap ikan dengan tombak dan mulai serius menekuni hobi fotografi. Pada tahun 1987 di saat kami frustrasi dengan segala perubahan yang terjadi di surga kecil kami, akhirnya kami menjual segala yang kami miliki dan pergi menuju Kepulauan Solomon, sebuah wilayah terpencil di mana kami bisa belajar fotografi bawah air secara otodidak sambil menggeluti hobi bertualang kami.

    Menjelajahi destinasi-destinasi baru

    Meskipun saat itu istilah pekerjaan kami belum dapat didefinisikan, kami perlahan memupuk beragam ke­mampuan yang kini kami sebut sebagai “destination developers” atau pengembang tujuan wisata. Saat itu kami mem­peroleh pekerjaan untuk membantu memperbaiki dan pada akhirnya mengelola sebuah kapal liveaboard pertama di Solomon bernama Bilikiki yang masih beroperasi hingga hari ini. Kami lah yang pertama kali menemukan titik-titik pe­nyelaman yang hingga kini masih terus dikunjungi oleh kapal tersebut. Saat ini adalah saat di mana kemampuan fotografi kami berkembang dengan sangat baik dan kami mulai mendokumentasikan hubungan antar terumbu karang dan menemukan hal-hal menarik lainnya. Yang sesungguhnya kami lakukan adalah “critter diving” yang saat itu masih belum me­miliki istilah sampai Larry Smith mempopulerkan istilah ter­sebut pada pertengahan 1990-an.

    Setelah penerimaan publik yang positif terhadap buku pertama kami tentang Solomon, kami menyadari cara tercepat untuk bisa menerbitkan tulisan kami adalah jika kami menuliskan tentang destinasi yang tidak pernah diselami oleh siapapun sebelumnya. Pemberhentian pertama kami adalah Pulau Sipadan. Kami sampai di sana pada tahun baru 1990. Betul-betul tempat yang menakjubkan! Lereng laut sedalam tiga ribu kaki berada hanya beberapa ayunan fin dari tepi pantai dan kehidupan bawah airnya benar-benar luar biasa. Kami menjadi salah satu jurnalis foto pertama yang berhasil mengisahkan tentang Sipadan.

    Bagaimana kisahnya tentang penamaan Cannibal Rock dan pemetaan Peninsula Kepala Burung Papua?

    (Baca selengkapnya di majalah Scuba Diver AustralAsia Indonesia edisi 2/2015)

    <span class="icon-user"></span>

    Dwi Saptarini

    Facebook comments

    Website comments